Krisis Kapitalisme saat ini adalah fenomena krisis terparah yang melanda sistem Kapitalisme yang di mulai sejak 2008 lalu. Kapitalisme sendiri merupakan sistem yang penuh dengan kontradiksi dan senantiasa selalu berada dibawah bayang-bayang krisis dikarenakan hukumnya sendiri. Namun Kapitalisme Akhir pada periode sejak 2008 lalu telah mengalami puncak daripada krisis yang mana hingga saat ini tidak terjadi proses pemulihan sebagaimana yang terjadi sebelumnya terutama sejak Pandemi Covid 19, krisis yang ada semakin bertambah parah.
Sebagaimana dalam sejarah Kapitalisme Akhir, krisis yang mengancam ekstitensi Kapitalisme merupakan periode revolusioner bagi kelas buruh dan kaum tertindas. Pada periode ini, Kapitalisme berada dalam titik terlemahnya dan terancam oleh pengambil alihan kekuasaan dari massa yang dipimpin oleh kelas buruh. Untuk menghindari kondisi tersebut, maka Kapitalisme berusaha menyelamatkan dirinya dan pilihan Kapitalisme untuk menyelamatkan dirinya di periode krisis yang parah adalah melalui Fasisme.
APA ITU FASISME?
Fasisme merupakan salah satu bentuk daripada kediktatoran kelas borjuis yang bercirikan sistem yang paling brutal dan efektif dalam menjalankan terror negara borjuis terhadap potensi-potensi revolusi yang dipimpin oleh kelas buruh. Seperti yang dijelaskan oleh Clara Zetkin,
“Fasisme adalah karakteristik dari gejala pembusukan saat ini, sebuah ekspresi dari keruntuhan yang sedang berlangsung dari ekonomi kapitalis dan pembusukan dari negara borjuis”
(Clara Zetkin, “Resolusi Mengenai Fasisme, Komite Eksekutif Komunis Internasional, 1923).
Bagaimana Marxis-Revolusioner (ML/MLM) memahami Fasisme berbeda dengan bagaimana borjuis dan revisionis memahami Fasisme. Dalam terminologi borjuis, Fasisme hanya dikategorikan sebagai suatu sistem yang terpisah tanpa ada hubungan sama sekali dengan corak dan hubungan produksi yang ada yaitu Kapitalisme dan permasalahan yang ada di dalamnya. Hal ini merupakan pandangan umum borjuis yang bersifat metafisik, melihat segala sesuatu yang ada sebagai bagian-bagian yang terpisah dan bukan bagian-bagian yang memiliki hubungan satu sama lain. Fasisme dalam pengertian borjuis hanya sebuah kediktatoran yang bersifat totalitarian dan anti demokrasi. Namun penjelasan borjuis mengenai Fasisme justru sangatlah abstrak dan tidak menyentuh sama sekali akar daripada permasalahannya.
Berbeda dengan borjuis, Marxis melihat Fasisme sebagai fenomena yang tidak terpisahkan dari Kapitalisme. Karenanya Marxis dengan tepat memahami, melalui analisis materialisme dialektis, bahwa Fasisme merupakan bagian dari kediktatoran kelas borjuis hanya saja dalam praktik yang berbeda dengan kediktatoran borjuis dibawah sistem demokrasi borjuis. Itu sebabnya Marxisme dapat melihat bahwa Fasisme adalah gejala Kapitalisme yang sedang membusuk dan membutuhkan kekuatan terror yang efektif untuk mencegah kejatuhannya.
Hal ini berangkat dari analisis saintifik Marxisme bahwa negara adalah instrumen dari kelas yang berkuasa. Karenanya Fasisme pun memiliki karakteristik kelasnya dan fungsinya dalam mempertahankan kediktatoran kelas tersebut. Karenanya negara fasis hanyalah bentuk lain dari negara borjuis, bukan sesuatu yang sama sekali terpisah daripadanya.
Revisionis sebaliknya pada umumnya terlalu dogmatis dalam memahami Fasisme. Fasisme hanya dipahami sebagaimana praktik yang terjadi pada negara-negara fasis seperti Nazi Jerman atau Fasis Italia. Untuk bentuk kediktatoran brutal borjuis lainnya di era Kapitalis Akhir mereka hanya menggunakan istilah-istilah seperti Bonapartisme, Militerisme, Rezim Otoriter Borjuis Nasional, dsb sekalipun dalam rezim-rezim ini terlihat karakteristik-karakteristik Fasisme di dalamnya. Hal ini dikarenakan dogmatisme membuat mereka gagal melihat adanya proses peningkatan kualitas dalam praktik Fasisme maupun lompatan kualitatif yang dapat mengantarkan sebuah negara borjuis menjadi negara fasis.
KARAKTERISTIK KELAS DARI FASISME
Fasisme pada dasarnya adalah bentuk daripada kediktatoran kelas borjuis sebagaimana dalam format demokrasi borjuis pula. Karenanya secara karakteristik ideologis, Fasisme jelas adalah ideologi borjuis yang berfungsi untuk melayani kepentingan dari kelas borjuis dan mempertahankan basis (ekonomi Kapitalisme) dan suprastruktur negara borjuis. Meski demikian basis massa Fasisme berakar dari kelas pemilik kecil seperti borjuis kecil perkotaan atau petani miskin. Diantaranya juga terdapat elemen-elemen lumpenproletariat. Mereka adalah elemen-elemen masyarakat yang mengalami pukulan keras akibat krisis Kapitalisme dan terancam proses proletarianisasi. Kegagalan daripada kepemimpinan proletariat dalam memimpin massa untuk memperjuangkan revolusi menjadikan mereka kemudian mendambakan situasi yang mengarah kepada kestabilan dan ketertiban mutlak untuk mengakhiri perjuangan kelas dengan harapan (ilusi) untuk dapat bangkit dari keterpurukannya. Clara Zetkin kembali menjelaskan:
“Fasisme berakar, memang, dari keruntuhan ekonomi kapitalisme dan negara borjuis. Telah terdapat gejala-gejala dari proletarianisasi lapisan-lapisan borjuis dalam kapitalisme pra perang (catatan penulis: maksudnya Perang Dunia I). Perang telah memporak-porandakan ekonomi kapitalis hingga ke fondasi-fondasinya. Bukti ini tidaak hanya ditunjukan dari pemiskinan total dari proletariat, tapi juga proletarianisasi dari lapisan massa luas dari borjuis kecil, borjuis menengah, kondisi yang sangat buruk dari para petani kecil, dan kesuraman dari intelegensia”.
……
“Dan mereka yang telah kehilangan harapan dari kelas proletariat revolusioner dan sosialisme, kemudian menemukan harapan tersebut dapat dicapai melalui elemen-elemen yang paling mampu, paling kuat, dan berani dari seluruh kelas sosial. Seluruh kekuatan ini harus bersatu dalam komunitas. Dan komunitas ini, untuk fasis, adalah bangsa. Mereka keliru membayangkan bahwa keinginan yang luhur untuk membangun realitas sosial yang baru dan lebih baik akan cukup kuat untuk melampaui seluruh antagonisme kelas. Instrumen untuk mencapai idealisme fasisme, bagi mereka, adalah negara. Negara yang kuat dan otoriter yang akan menjadi ciptaan mereka sendiri dan alat mereka yang patuh. Negara ini akan berposisi diatas semua perbedaan partai dan kelas dan akan mencetak ulang masyarakat berdasarkan pada ideologi dan program mereka.” (Clara Zetkin, “Perjuangan Melawan Fasisme”)
Massa yang sudah kehilangan harapan, karena keterpurukan mereka, terhadap perjuangan kelas inilah yang kemudian akan direkrut oleh Fasisme dan digunakan untuk mempertahankan kediktatoran borjuis melalui slogan-slogan demagognya yang bersifat nasionalistik dan chauvinistik. Memecah kekuatan massa berdasarkan identitas primodial dan menundukannya pada kepentingan Kapitalisme. Karenanya sekalipun memiliki basis massa dari kalangan borjuis kecil, petani kecil, hingga lumpenproletariat, karakteristik kelas Fasisme tetaplah kediktatoran borjuis dengan corak produksi Kapitalisme.
PENINGKATAN KUALITAS FASISME VS LOMPATAN KUALITATIF FASISME
Abad 21 saat ini menyaksikan kembali Kapitalisme jatuh ke dalam kondisi krisis dan berbeda dari krisis-krisis sebelumnya, proses pemulihan dari krisis ini sangatlah lambat dan nyaris tidak terjadi. Hal ini dikarenakan kondisi objektif dari Kapitalisme Akhir saat ini yang telah mencapai titik puncak daripada pelapukannya. Meski demikian sebagaimana sistem masyarakat berkelas sebelumnya (tuan budak dan tuan tanah feodal), kapitalis pun enggan mengakui bahwa posisi mereka sudah berada diujung tanduk dan telah sekarat. Karenanya Kapitalisme akan dengan berbagai cara berusaha mempertahankan corak produksi yang ada dengan memperkokoh kekuasaan kelasnya dan sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, cara itu dicapai melalui Fasisme.
Fasisme di abad 21 saat memiliki perbedaan dengan Fasisme di abad 20 sebelumnya dari segi praktik (Fasisme klasik) seperti yang diterapkan di Nazi Jerman, Fasis Italia, Fasis Jepang, dll. Jika dalam Fasisme klasik, Fasisme dipraktikan melalui penggulingan total demokrasi borjuis dan pembentukan negara totalitarian yang kokoh maka di abad 21 ini, Fasisme hidup dan berkembang di dalam alam demokrasi borjuis itu sendiri. Sekalipun tidak berarti semua negara yang memiliki kualitas fasisme dapat dikategorikan sebagai negara fasis dan negara fasis yang eksis saat ini tidak berada dalam posisi yang sama persis dengan negara-negara fasis klasik.
Pertama-tama harus kita pahami terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan peningkatan kualitas fasisme. Sejak kapitalisme memasuki periode akhirnya (Imperialisme), kapitalisme telah berkali-kali mengalami krisis secara periodik yang dapat berakibat fatal terhadap keberlangsungan sistemnya. Karenanya pada dasarnya negara-negara borjuis pada periode Kapitalisme Akhir seluruhnya memiliki kualitas fasisme masing-masing untuk mempertahankan sistemnya dari keruntuhan. Kualitas fasisme ini yang akan terus menerus meningkat sesuai dengan kondisi objektif yang ada. Semakin krisis kapitalisme maka akan semakin meningkatlah kualitas fasismenya dan apabila sudah mencapai titik puncaknya, maka lompatan kualitatif akan terjadi. Lompatan kualitatif sendiri penjelasannya adalah,
“Perubahan, umumnya secara tiba-tiba, yang besar dari keadaan atau karakter sesuatu. Secara khusus, perubahan besar atay perkembangan terjadi sebagai berikut: Setelah beberapa waktu perubahan-perubahan kecil terjadi dalam suatu benda, dan saat perubahan-perubahan kecil ini berakumulasi pada ambang batas tertentu, perubahan fundamental akan terjadi dan lompatan kualitatif akan muncul. Dengan demikian, dalam sebuah teko teh, air di dalamnya dihangatkan secara gradual diatas kompor sampai mencapai 100 derajat celcius, di mana air tersebut kemudian akan mulai masak”
(Kamus Marxisme Revolusioner, “Lompatan Kualitatif”,
https://www.massline.org/Dictionary/Q.htm)
Dengan demikian lompatan kualitatif yang dimaksud disini adalah perubahan bentuk negara borjuis demokratik menjadi negara fasis yang terjadi dari peningkatan kualitas fasismenya.
Saat ini di seluruh dunia, kualitas fasisme dari negara-negara borjuis telah mengalami peningkatan pesat. Krisis parah yang tidak kunjung selesai ditambah dengan pergerakan kelas buruh dan kaum tertindas yang semakin marak dan signifikan menjadikan kelas penguasa borjuis baik di Imperialist Core (pusat Imperialis/negara-negara maju) maupun negara-negara setengah jajahan-setengah feodal mengalami kekhawatiran akan prospek terjadinya pemberontakan massa besar. Untuk mencegah hal tersebut maka kelas penguasa di negara-negara tersebut kemudian meningkatkan kualitas fasisme di masing-masing negara mereka. Peningkatan kualitas ini berfungsi sebagai sarana untuk memukul balik massa yang mulai memanfaatkan ruang demokrasi borjuis untuk melakukan perlawanan. Peningkatan kualitas fasisme ini akan berujung pada semakin dipersempitnya ruang demokrasi dan semakin meningkatnya kekerasan aparatus negara terhadap massa. Peningkatan kualitas fasisme ini tidak hanya ditunjukan dari kemenangan partai-partai kanan jauh atau trend kembali pandangan-pandangan neo-fasis sebab tanpa partai-partai ini pun, kelas borjuis yang berkuasa juga tetap dapat meningkatkan kualitas fasisme di dalam negara mereka secara natural sebagai bagian dari hukum kapitalisme.
Contoh dari peristiwa ini dapat dilihat misal di Eropa Barat dan Amerika Serikat di mana terjadi peningkatan pesat dalam kualitas fasisme di negara-negara tersebut. Di Jerman dan Amerika Serikat misalnya saat sekelompok mahasiswa melakukan protes terhadap kebijakan Imperialis negara mereka yang mendukung pembantaian rakyat Palestina oleh Zionis Israel, para demonstran ini malah kemudian digebuki keras oleh polisi. Bahkan ada yang sampai di DO dari universitas mereka hal yang sama dengan kalangan massa secara luas. Marxis-Revolusioner (ML/MLM) menyebut fenomena ini sebagai “Creeping Fascism” di mana kelas penguasa borjuis di negara tersebut meningkatkan kualitas fasisme untuk menghancurkan kekuatan massa melalui serangkaian penetapan aturan-aturan maupun tindakan-tindakan fasistik tanpa membubarkan institusi demokrasi borjuis secara formal.
Bagaimana dengan negara fasis yang artinya kualitas fasisme di negara tersebut sudah mencapai tahapan lompatan kualitatif yang membentuk negara fasis? Pada abad 21 ini kita bisa melihat contoh daripada negara fasis adalah India dibawah rezim BJP. Sebagaimana penjelasan dari kawan-kawan revolusioner di India,
“Negara India saat ini, sebagaimana pemahaman dari partai kami, adalah Fasisme Brahmanic Hindutva dibawah kepemimpinan RSS dan BJP. Saat ini, Narendra Modi adalah pemimpin utama dari Fasisme Hindutva, dan dia telah menjabat sebagai perdana mentri India selama satu decade. Pemerintah BJP saat ini ingin mengubah India menjadi Hindu-Rastra (bangsa) dalam nama “India Baru”, yang mana tidak lain hanyalah fasisme borjuis komprador-feodal. Pemerintah BJP bahkan tidak mengizinkan berfungsinya “demokrasi formal”, dan secara gradual mengintensifkan serangan-serangannya setiap harinya” -CPI (Maoist)- [On Frontline Revolution: An Exclusive Interview with Communist Party of India (Maoist)]
CPI (Maoist) sebagai partai pelopor revolusioner yang memimpin Perang Rakyat di India juga menjelaskan karakteristik Fasisme India yang bersifat Chauvinisme Hindu yang termasuk dalam chauvinisme agama. Trend yang kurang lebih sama seperti yang ideologi kelompok Cornelia Zelea Codreanu dari Rumania (fasisme Kristen Orthodox) atau ideologi dan praktik pemerintah fasis Kroasia/NDH (fasisme Katolik). Berdasarkan analisis terhadap karakteristik negara India saat ini dan kebijakan pemerintahannya yang mengikuti garis politik Fasisme Hindutva dapat dikatakan India sudah memiliki proses lompatan kualitatif menjadi sebuah negara fasis. Sekalipun secara praktik berbeda dengan Nazi Jerman atau Fasis Italia dalam arti pemberangusan total demokrasi borjuis. Diatas kertas, India masih negara parlementer borjuis namun secara praktik negara ini sudah merupakan bentuk negara fasis yang tercermin dari garis politik negaranya yang berlandaskan chauvinisme dan pemberangusan proses demokrasi formal terhadap kelas buruh dan kaum tertindas.
MELAWAN DOGMATISME DAN PENYIMPANGAN LAINNYA TERHADAP PEMAHAMAN MENGENAI FASISME
Dogmatisme terhadap pemahaman Fasisme merupakan salah satu bentuk kekeliruan fatal dalam memahami perkembangan fasisme dari masa ke masa. Kalangan revisionis dari Trotskyisme adalah yang paling utama sering merujuk pemahaman mengenai fasisme hanya dari analisis-analisis klasik tanpa melengkapinya juga dengan analisis-analisis revolusioner pada masa saat ini. Akibatnya mereka terkurung pada dogmatisme dan gagal melihat bahwa fasisme sendiri sudah berkembang pula dalam praktiknya di negara-negara borjuis saat ini. Mereka hanya terkurung hanya pada pemahaman klasik dasar bahwa fasisme adalah kediktatoran partai yang dinilai dari absennya sistem multipartai, rezim parlementer, ekonomi yang bersifat korporatis. Bahwa sistemnya harus setidaknya mendasarkan pada praktik seperti di Nazi Jerman atau Fasis Italia. Karenanya mereka abai dengan peningkatan kualitas fasisme diberbagai negara yang terjadi saat ini maupun lompatan kualitatif fasisme seperti kasus rezim BJP di India. Mereka tidak memahami karakter fluid atau cair dari fasisme yang merupakan bagian dari kediktatoran borjuis yang paling brutal dan kebrutalan itu dapat diwujudkan dalam usaha semakin memperkecil ruang demokrasi maupun hingga tindakan terror brutal seperti kasus Fasisme Hindutva di India yang mana diatas kertas masih mempertahankan sistem parlemen borjuis tapi secara praktik sudah fasisme. Karenanya kaum Marxis-Revolusioner (ML/MLM) harus menolak pandangan dogmatis demikian sebagaimana yang dijelaskan oleh kawan-kawan revolusioner dari Turki,
“Partai kami menolak pemahaman yang membatasi fasisme hanya pada kediktatoran partai, yang mengukurnya hanya dengan tidak adanya rezim multipartai dan parlementer, yang mendefinisikannya dengan kebijakan-kebijakan periodik, yang membuat pertimbangan diatas konsekuensi yang diciptakan dari kekuatan-kekuatan yang tidak berimbang diantara para kolega, yang mendasarkannya pada perubahan yang mengemuka dari multi-dimensional dan krisis yang mendalam dari sistem” [Dokumen Kongres Pertama Communist Party of Turkey/Marxist-Leninist (TKP/ML)]
Selain dogmatisme juga harus ditolak pula pemahaman yang sembarangan mengkategorisasikan sebuah negara sebagai negara fasis. Sebuah negara bisa dikatakan negara fasis apabila tidak hanya ada peningkatan kualitas fasisme sampai tahap maksimum namun juga terdapat lompatan kualitatif yang mengubah bentuk negara tersebut menjadi negara fasis. Karenanya menyebut Amerika Serikat misalnya sebagai negara fasis juga adalah kekeliruan karena tidak ada lompatan kualitatif fasisme di sana namun Amerika Serikat adalah negara dengan kualitas fasisme yang cukup besar pula dan semakin meningkat setiap tahunnya.
BAGAIMANA DENGAN INDONESIA?
Indonesia terutama sejak 2019 juga mengalami peningkatan pesat dalam kualitas fasisme sekalipun belum terdapat lompatan kualitatif yang menjadikan Indonesia sebagai negara fasis. Secara formal, demokrasi borjuis di Indonesia masih berjalan namun semakin hari semakin dierosi oleh peningkatan kualitas fasisme yang terjadi di dalam sistemnya. Peningkatan kualitas fasisme di Indonesia dapat dilihat dari aturan-aturan fasistik seperti KUHP atau UU ITE yang mana secara gradual mempersempit ruang demokrasi di negara ini. Secara praktik pemerintah Indonesia juga melakukan beragam tindakan fasistik seperti kriminalisasi aktivis, perampasan lahan secara paksa, militerisasi Papua, hingga “pemberadaban paksa” masyarakat adat, seperti yang terjadi pada orang Rimba di Sumatera.
Peningkatan kualitas fasisme ini juga menunjukan peningkatan chauvinisme baik yang bersifat nasionalistik maupun religius yang merupakan ciri khas daripada Fasisme. Rezim Birokratik Kapitalisme Indonesia semakin menunjukan sikapnya yang antikritik dan peningkatan kekuatan polisi sebagai alat kontrol terhadap massa. Dengan demikian sekalipun Indonesia belum terjadi lompatan kualitatif menuju negara fasis namun kualitas fasisme di negara ini sudah sangat terasa dibawah rezim demokrasi borjuis yang semakin tererosi.
Itu sebabnya meremehkan kenyataan akan peningkatan kualitas fasisme di negara ini merupakan tindakan yang salah dan dapat berakibat fatal. Dengan menutup mata dari peningkatan kualitas fasisme yang terjadi di depan mata kita, mengklaim bahwa tidak ada ancaman fasisme di negara ini sama saja dengan memberi jalan kepada keberlanjutan proses peningkatan kualitas fasisme ini yang dapat berujung kepada lompatan kualitatif menuju negara fasis. Ini adalah dystopia, mimpi buruk yang harus kita hindari bersama.
APA YANG HARUS DILAKUKAN?
Peningkatan kualitas fasisme yang terjadi di berbagai belahan dunia saat ini merupakan dampak nyata dari krisis Kapitalisme Akhir. Krisis ini menyaksikan tidak hanya pembusukan dan pengeroposan semakin dalam dari sistem Kapitalisme namun juga kebangkitan kelas buruh dan kaum tertindas dalam memperjuangkan hak-hak mereka. Karenanya kelas penguasa, yang masih menolak kenyataan objektif yang ada, merasa ketakutan akan kehilangan kekuasaan mereka dan fasisme selalu menjadi cara untuk dapat memukul massa secara efektif. Sekalipun di masa kini, penggunaan instrumen fasisme sudah lebih halus daripada periode 1920an dan 1930an.
Lantas apa yang harus kita lakukan? Tentu saja yang harus kita lakukan adalah membangun kekuatan untuk melawannya. Fasisme sebagai kekuatan paling reaksioner dari borjuis, instrumen pemukul yang paling brutal tidak bisa dibiarkan begitu saja untuk eksis dan mengancam massa pekerja dan kaum tertindas. Meski demikian, perlawanan yang harus dilakukan bukanlah dengan mengikuti aturan-aturan main borjuis seperti ikut serta dalam pemilihan umum borjuis dan berpartisipasi di dalam parlemen. Ditengah peningkatan kualitas fasisme di berbagai belahan dunia, hal ini malah akan menjadi tindakan paling reaksioner dan pengkhianatan terhadap kelas buruh dan kaum tertindas. Ikut serta dalam politik borjuis dan berharap bisa menegoisasikan kesepakatan politik adalah tindakan terbodoh! Stalin menjelaskan kepada kita soal ini,
“Fasisme adalah kekuatan reaksioner yang berusaha untuk mempertahankan sistem lama dengan cara kekerasan. Apa yang akan kamu lakukan terhadap fasis? Berdebat dengan mereka? Mencoba meyakinkan mereka? Tapi ini tidak akan memiliki efek apapun terhadap mereka.” (J.V. Stalin, “Marxisme vs Liberalisme”)
Dengan kata lain perlawanan terhadap Fasisme tidak bisa dilakukan dengan bergantung pada sistem borjuis sendiri maupun partai-partai borjuis. Partai borjuis sendiri termasuk Sosial-Demokrat yang mana jelas memiliki sifat dan karakteristik kelas yang sama dengan partai-partai borjuis lainnya. Para Sosial-Demokrat adalah mereka yang mengkhianati kelas buruh dan kaum tertindas dan menjual massa kepada fasisme untuk kompensasi politik tertentu. Di negara-negara Skandinavia saat ini contohnya, kaum sosial demokrat justru menujukan watak sebenarnya ditengah krisis dengan beraliansi bersama kaum neo fasis untuk memukul kelas buruh yang semakin teradikalisasi. Di Indonesia, contoh partai sosial demokrat ini adalah Partai Buruh yang mana masih bermimpi untuk mencapai kesepakatan politik di dalam pemerintahan borjuis Indonesia yang artinya berusaha berkompromi dengan pemerintahan borjuis yang kualitas fasismenya semakin meningkat. Sebuah tindakan kebodohan dan memang tidak salah lagi saat Stalin menyatakan bahwa Sosial Demokrat adalah sayap moderat dari Fasisme sebagai Sosial-Fasis.
Perlawanan juga tidak dapat dilakukan dengan bergabung bersama partai-partai borjuis dengan membentuk Popular Front dan membela demokrasi borjuis yang tererosi oleh peningkatan kualitas fasisme di dalam negara. Taktik ini sudah pernah diterapkan pada tahun 1930an dahulu oleh Komintern namun berujung pada kegagalan dan dalam kondisi objektif saat ini di mana terjadi peningkatan kualitas fasisme di berbagai negara, adalah kebodohan jika mengulangi kembali taktik lama yang sudah tidak lagi relevan.
Karena itulah, satu-satunya cara untuk melakukan perlawanan terhadap peningkatan kualitas fasisme di dalam negara adalah dengan mengorganisir diri, membentuk kekuatan revolusioner yang kuat dan disiplin serta memiliki garis ideologi dan politik kelas yang jelas dengan azaz Vanguardisme dan Garis Massa. Di dalam negara setengah jajahan-setengah feodal seperti Indonesia, kekuatan revolusioner yang merupakan pelopor ini juga harus mempersatukan elemen-elemen progresif anti Imperialisme dan anti Feudalisme membentuk united front yang dipimpin oleh partai pelopor tersebut (berbeda dengan popular front di mana partai pelopor bergabung dalam aliansi politik dengan partai-partai borjuis, united front merupakan bentuk front persatuan dari kekuatan progresif yang dipimpin oleh kelas buruh melalui partai pelopornya). Perjuangan dilakukan melalui pembentukan kekuatan ekstra parlementer baik yang berfungsi sebagai sarana edukasi massa maupun sebagai kelompok penekan dengan memanfaatkan ruang-ruang yang semakin terbatas dalam demokrasi borjuis saat ini untuk menekan (bukan berkompromi) rezim komprador-kabir-tuan tanah negara ini yang digabungkan juga dengan pembentukan kekuatan bersenjata revolusioner untuk proses perebutan kekuasaan. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Mao Zedong bahwa revolusi untuk dapat berhasil harus memiliki 3 (tiga) senjata utama yaitu Partai Pelopor, Tentara Rakyat, dan United Front.
Hanya melalui cara inilah maka perlawanan terhadap Kapitalisme yang semakin meningkatkan kualitas fasismenya dapat dilakukan. Perlawanan teguh dan disiplin dari massa yang dipimpin kelas buruh dibawah bimbingan partai pelopor inilah yang akan menjadi kunci kesuksesan revolusi dan mencegah lompatan kualitatif menuju negara fasis di masa depan.
FASISME YANG BAIK ADALAH FASISME YANG MATI!
BANGKIT, BERORGANISIR, DAN MELAWAN!
Penulis
Bindusara Chandra
Komentar
Posting Komentar