Pada bulan ini, Oktober 2024 tepat satu tahun berlalu sejak serangan kelompok pembebasan Palestina terhadap pendudukan Zionis Israel pada Oktober 2023 lalu. Serangan ini memberikan efek kejut yang cukup signifikan bagi pihak penjajah Israel dan kepanikan massal di seluruh daerah pendudukan Israel di tanah Palestina dan sekali lagi memberikan sinyal peringatan kepada dunia bahwa bangsa yang tertindas tidak akan selamanya tinggal diam dan membiarkan diri mereka ditindas.
Namun sekalipun demikian, permasalahan di Palestina justru sedikit sekali dipahami melalui analisis atas kondisi nyata yang terjadi. Permasalahannya terletak pada “pasar media” yang memberitakan permasalahan di Palestina melalui distorsi-distorsi yang menguntungkan para kapitalis penguasa media mulai dari permasalahan politik identitas (ras, suku, agama) sampai pada persoalan narasi yang mendukung kebrutalan Zionisme Israel atas dasar “pembelaan diri atas serangan militan Palestina”. Melalui edisi bulan ini, kami mengajak pembaca untuk bersama-sama membedah persoalan apa sebenarnya yang terjadi di Palestina dan bagaimana analisa dan sikap yang benar dalam menanggapi persoalan tersebut.
1. Persoalan di Palestina bukan Perang Agama tapi Perang Pembebasan Nasional
Poin pertama ini merupakan hal yang paling sering digoreng oleh kaum kolot di negara ini terutama. Bumbu agama selalu dijadikan pemanis untuk bisa memberikan Gambaran-gambaran yang terdistorsi kepada masyarakat mengenai permasalahan yang ada di Palestina. Mereka selalu menggunakan jubah agama dari corong-corong ceramah mereka yang nyaring mempromosikan pandangan yang keliru bahwa konflik di Palestina adalah konflik antara Yahudi yang diwakili Israel dan Islam yang diwakili Palestina. Narasi ini yang kemudian mengarah pada pembentukan argumentasi fasistik yang menjurus pada chauvinisme dan antisemitisme. Kurang lebih seperti Nazi Jerman yang senantiasa menyalahkan Yahudi atas semua masalah yang terjadi yang berakhir dengan tragedi pembantaian yang dikenal sebagai Holocaust selama Perang Dunia II.
Maka jawabannya, tidak. Masalah di Palestina bukan Perang Agama namun Perang Pembebasan Nasional. Dengan kata lain hal ini adalah perjuangan bangsa terjajah melawan penjajahnya sama seperti yang dilakukan Indonesia pada periode 1945-1949 dalam Revolusi Nasional/Revolusi Agustus. Dalam perang pembebasan nasional ini, identitas tidak menjadi persoalan, permasalahan utama adalah ekstitensi Israel yang illegal di tanah Palestina sebagai pihak yang secara sepihak mengkolonialisasi Palestina dan bangsa Palestina yang terdiri dari berbagai identitas yang menolak kolonialisasi oleh Zionis-Israel. Karenanya ini adalah perjuangan untuk merebut kemerdekaan bukan Perang Agama.
2. Persoalan Palestina bukan masalah agama tertentu Semata tapi Masalah Dunia, Masalah Pembebasan Manusia dari Penindasan
Persoalan berikutnya yang paling penting juga adalah bahwa masalah Palestina bukanlah masalah yang erat dengan kategori agama tertentu dalam hal ini di negara ini selalu dibawa-bawa ke narasi “keislaman”. Tidak. Masalah Palestina adalah masalah seluruh dunia, masalah Palestina adalah persoalan pembebasan dari penindasan oleh manusia atas manusia dan bangsa atas bangsa. Keberadaan illegal Israel sebagai kolonis di tanah Palestina adalah problem yang dihasilkan oleh sistem Kapitalisme Akhir yang melahirkan Imperialisme. Israel eksis untuk menopang Imperialisme di Timur Tengah dan perang yang mereka lakukan akan menghasilkan keuntungan bagi kantong-kantong negara Imperialis yang saling bersaing untuk menguasai sumber daya di Timur Tengah. Israel eksis untuk Kapitalisme dan Kapitalisme secara ringkas adalah eksploitasi manusia atas manusia dan bangsa atas bangsa. Itu sebabnya masalah Palestina harus dipahami dari kacamata internasionalisme bukan politik identitas sehingga penyelesaian masalah Palestina juga bisa tepat sasaran sebagai bagian dari perjuangan internasional melawan eksploitasi dan penindasan.
3. Zionisme bukan Judaisme bukan pula bangsa Yahudi
Perlu diingat bahwa Zionisme tidak mewakili agama atau bangsa Yahudi. Zionisme adalah Fasisme Yahudi seperti Nazi adalah Fasisme Jerman dan Orde Baru adalah Fasisme Indonesia namun tidak mewakili seluruh identitas nasional atau agama dari pihak yang terkait. Sebagai Fasisme, Zionisme erat memegang tidak hanya ultra-nasionalisme namun juga supermasi rasial dan juga konsep etno-state atau negara rasial. Zionisme sangat dekat dengan Nazi Jerman dalam hal ini.
Sekalipun Zionisme lahir dari gerakan ekstrim nasionalis Yahudi, namun banyak bangsa Yahudi pada masa kelahiran Zionisme yang menentang ideologi dan program-program zionis. Salah satu pihak yang paling keras menentang Zionisme adalah Jewish National Bund. Bund adalah kelompok Yahudi sayap kiri yang menentang pandangan sayap kanan yang dianut Zionisme. Mereka memandang bahwa bangsa Yahudi tidak berhak mencuri tanah Palestina apalagi dengan bermodalkan mitologi bukan kenyataan historis. Ditambah lagi, bangsa Yahudi adalah bangsa diaspora dan kewajiban bagi bangsa Yahudi adalah untuk tinggal, berasimilasi di negara tempat mereka tinggal dan berjuang untuk mendukung revolusi dan pembebasan di negara-negara tempat mereka tinggal. Bund adalah bukti historis bahwa Zionisme bukanlah dibangun atas keinginan kolektif bangsa atau agama Yahudi namun lebih kepada kelompok-kelompok ekstrim fasis yang ingin melakukan kolonialisasi atas tanah Palestina atas dasar chauvinisme.
4. Perjuangan Nasional Palestina bukanlah perjuangan Kelompok Islamis
Salah satu hal yang populer juga yang juga merupakan kekeliruan adalah bahwa perjuangan nasional Palestina dipandang sebagai perjuangan kelompok Islamis. Ini berkaitan dengan poin kedua dan juga sangat keliru. Hamas yang merupakan kelompok yang populer di media hanyalah salah satu dari kelompok perlawanan Palestina. Namun Palestina memiliki kelompok perlawanan lain yang berlandaskan pada ide-ide sekulerisme dan Sosialisme. Kelompok ini seperti Popular Front for Liberation of Palestine (PFLP) dan Democratic Front for Liberation of Palestine (DFLP). PFLP dan DFLP berideologi Marxis-Leninis (PFLP) dan Marxis-Leninis-Maois (DFLP) dan keduanya bertujuan untuk mendirikan negara Palestina merdeka dibawah Kediktatoran Proletariat yaitu negara buruh Palestina.
Marxisme sudah lama menjadi ideologi perjuangan pembebasan nasional Palestina sebagaimana juga ideologi revolusioner yang paling maju dan dan paling kongkrit (ilmiah). Keberadaan PFLP dan DFLP memang jarang diketahui karena media-media mainstream hanya mengangkat ekstitensi Hamas ditambah red scare atau ketakutan terhadap Komunisme sudah terlalu mendominasi sejak perang dingin menjadikan Marxisme-Leninisme/Maoisme sebagai ideologi yang ditakuti padahal sejatinya gagasan ini adalah gagasan pembebasan manusia dari penindasan. Justru brutalitas Kapitalisme seperti yang dipraktikan oleh Zionis Israel hanya bisa diakhiri melalui penerapan Marxisme-Leninisme-Maoisme dalam praktik.
Kesimpulan yang bisa kita petik disini adalah bahwa persoalan Palestina bukanlah masalah yang terpaku hanya pada identitas tertentu apakah itu agama, ras, suku namun merupakan permasalahan pembebasan nasional yaitu perjuangan merebut kemerdekaan, usaha sebuah bangsa yang terjajah untuk membebaskan diri dari penjajahnya. Dalam analisis Marxis, perjuangan pembebasan nasional juga terkait dengan perjuangan kelas sebagai fondasi utamanya. Hal ini dikarenakan ekstitensi eksploitasi dan penindasan merupakan produk daripada masyarakat berkelas yang kini dipertahankan oleh sistem Kapitalisme. Karenanya melawan Kolonialisme dan Imperialisme adalah melawan Kapitalisme dan dengan demikian hal ini merupakan perjuangan kelas yang mana dipimpin oleh kelas yang paling revolusioner yaitu kelas buruh untuk membebaskan manusia dari eksploitasi dan penindasan.
LAWAN FASIS-ZIONIS!
LAWAN ANTISEMITISME
PERJUANGKAN DEMOKRASI BARU DI PALESTINA SEBAGAI LANGKAH AWAL UNTUK SOSIALIS PALESTINA YANG MERDEKA!
Penulis
Bindusara Chandra dan A.R.
Komentar
Posting Komentar